![]() |
Penulis, James Ayat Tiranda. |
"Trisal Tahir, Antara Harga Diri, Pride, dan Kemandirian"
Oleh: James Ayat Tiranda
(Mahasiswa Pemerhati Sosial Politik Universitas Trilogi)
Sejujurnya, Pak Trisal tidak mengenal saya, tapi saya mengenal beliau karena saya mantan Pelaut yang pernah bekerja lewat Agency PT. Aweidhia Crewing Management dimana beliau sebagai ownernya.
Terus terang, saya takjub dan terkesima mendengar kabar Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi beliau dari kemenangannya sebagai kandidat Walikota Palopo. Masalahnya soal ijazah yang dinilai tidak valid. Padahal, Trisal bersama pasangannya meraih suara terbanyak pada kompetisi Pilwakot Palopo yang lalu.
Namun, apa yang menimpa Pak Trisal ini bagi saya merupakan potret nyata dari berbagai aspek kehidupan di negeri ini. Upaya anak bangsa meraih status dan prestise serta kesuksesan keluarga, acapkali terhambat berbagai tantangan yang mungkin saja dibuat untuk menjegal. Padahal, demokrasi itu sejatinya ibarat air, mengalir tanpa sumbatan serta luwes.
Janganlah kita hanya berkutat ke soal ijazah. Sisi positif yang banyak diperjuangkan dari sosok seorang Trisal juga harus jadi takaran pertimbangan. Perjalanan hidup beliau justru sangat berharga bagi anak-anak kurang mampu di negeri ini.
Beliau bukan dari keluarga yang dapat dengan mudah menentukan pilihan makanan lezat untuk dikonsumsi setiap hari. Ia berjuang dari keterbatasan, karena takdir telah membawanya lahir dalam lingkungan keluarga yang kurang mampu.
Beliau tidak dilahirkan dalam keluarga yang memiliki kekayaan atau modal besar yang dapat diwariskan untuk melanjutkan kekuasaan. Ini realitas yang publik harus cermati.
Jangan kita justru menertawakan dan menghakiminya hanya karena tudingan ia tidak memiliki ijazah formal yang dianggap layak untuk menjadi seorang kepala daerah.
Ia diperlakukan bak pesakitan di tengah masyarakat yang mengaku terdidik, seolah kapasitasnya menjadi rendah hanya karena keterbatasan pendidikan formal.
Atau, jangan-jangan sebagian dari mereka yang meremehkan Pak Trisal karena latar belakang pendidikannya adalah individu yang buta sejarah. Pemikiran mereka jauh dari perspektif strategis, serta minim etika dalam menerjemahkan nilai-nilai politik ke dalam masyarakat.
Kekhawatiran terbesar kita seharusnya bukan pada keabsahan ijazah Trisal, melainkan pada dampak yang ditimbulkan bagi generasi mendatang. Jangan sampai keberhasilan menghambat langkah Trisal karena faktor administratif justru menjadi awal dari kegagalan kita dalam mendorong semangat anak-anak kurang mampu di berbagai penjuru negeri.
Pada akhirnya, pencapaian dan perjuangan Trisal telah membuka mata banyak anak bangsa dari kalangan tak mampu. Ia telah membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah dalam meraih mimpi-mimpi besar.
Meskipun terhambat ijazah, Trisal telah menjadi “prasasti kehidupan” bagi mereka yang tengah berjuang, tidak hanya demi harga diri keluarga, tetapi juga untuk masa depan bangsa serta kesejahteraan kampung halaman.
PENULIS:
- Eks Taruna Perwira Pelayaran Niaga, Polimarim AMI Makassar (Eks AMI Veteran Makassar);
- Eks Crew Kapal MV. Media Palmarola, tipe Bulk Carrier Panamax (Berangkat lewat Agency Aweidhia Crewing Management, Perusahaan Kapal D’amico Shipping Company, Coase Italy) berangkat lewat Aweidhia Mei 2021.
(*)