Ciung Wanara: Kisah Legenda dari Tatar Sunda
-->

Advertisement Adsense

Ciung Wanara: Kisah Legenda dari Tatar Sunda

60 MENIT
Senin, 03 Februari 2025

Penampilan Ciung Wanara sebelum dikutuk menjadi Denawa (zhovena)


Dalam budaya Sunda, ada sebuah cerita rakyat yang melegenda. Legenda ini tak hanya mengisahkan perjalanan kerajaan Sunda Galuh, tetapi juga asal mula nama Sungai Pemali. Cerita ini menyimpan pesan mendalam tentang hubungan budaya antara masyarakat Sunda di Jawa Barat dan masyarakat Jawa di bagian barat Jawa Tengah.


Awal Mula Kerajaan Galuh

Dahulu kala, di Pulau Jawa berdiri sebuah kerajaan megah bernama Kerajaan Galuh. Pusat pemerintahannya terletak di daerah Galuh yang kini dekat dengan Ciamis. Kerajaan ini membentang dari Hujung Kulon (ujung barat Pulau Jawa) hingga Ujung Galuh (muara Sungai Brantas di Surabaya).


Kerajaan tersebut dipimpin oleh Prabu Permana Di Kusumah, seorang raja bijaksana. Namun, setelah bertahun-tahun memerintah, sang raja memutuskan untuk menjadi pertapa. Ia memanggil Aria Kebonan, salah satu menterinya, untuk membahas rencana pengunduran diri dari tahta.


Namun, Aria Kebonan diam-diam menyimpan ambisi menjadi raja. Keinginan ini tak luput dari kemampuan supranatural Prabu Permana Di Kusumah.


“Aria Kebonan, benarkah kau ingin menjadi raja?” tanya sang raja.

Awalnya, Aria Kebonan membantah, namun akhirnya ia mengakui ambisinya. Melalui kekuatan gaib, sang raja mengubah wujud Aria Kebonan menjadi seorang pria tampan bernama Prabu Barma Wijaya.


“Engkau akan memimpin kerajaan ini selama aku bertapa. Namun, ingat, jangan pernah menyentuh kedua istriku: Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum,” pesan Prabu Permana Di Kusumah.


Kelahiran Dua Pangeran

Di bawah pemerintahan Prabu Barma Wijaya, terjadi kejadian aneh. Kedua ratu, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum, bermimpi bulan jatuh ke pangkuan mereka, tanda mereka akan melahirkan anak. Hal ini membuat Barma Wijaya marah dan takut. Ia meminta pertapa Ajar Sukaresi (yang sebenarnya Prabu Permana Di Kusumah dalam penyamaran) untuk menafsirkan mimpi tersebut.


“Kedua ratu akan melahirkan pangeran,” kata sang pertapa.


Barma Wijaya murka. Dengan penuh dendam, ia menusuk Ajar Sukaresi. Namun, kerisnya justru bengkok. Sang pertapa menghilang, berubah menjadi seekor naga besar bernama Nagawiru.


Tak lama kemudian, Dewi Pangrenyep melahirkan seorang pangeran bernama Hariang Banga, sementara Dewi Naganingrum melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Ciung Wanara. Namun, Dewi Pangrenyep yang iri hati melakukan rencana keji: ia menukar bayi Naganingrum dengan seekor anak anjing dan menghanyutkan bayi tersebut ke Sungai Citanduy.


Anak Sungai Citanduy

Di sebuah desa di tepi Sungai Citanduy, sepasang suami istri tua menemukan bayi laki-laki dalam keranjang. Mereka merawat bayi tersebut dengan penuh kasih sayang, memberinya nama Ciung Wanara terinspirasi dari burung dan monyet yang mereka lihat.


Ketika dewasa, Ciung Wanara mengetahui asal-usulnya. Dengan membawa seekor ayam jago hasil penetasan naga Nagawiru, ia pergi ke Galuh untuk menuntut keadilan.


Sabung Ayam yang Mengubah Takdir

Di Kerajaan Galuh, sabung ayam adalah hiburan besar. Raja Barma Wijaya memiliki ayam jago bernama Si Jeling, yang tak pernah terkalahkan. Raja dengan angkuh menyatakan bahwa siapa pun yang bisa mengalahkan Si Jeling akan dihadiahi apa saja yang diinginkan.


Ciung Wanara menerima tantangan itu. Dalam pertarungan sengit, ayam jago miliknya berhasil mengalahkan Si Jeling. Sebagai hadiah, ia meminta setengah wilayah kerajaan.


Perang Saudara dan Awal Mula Sungai Pemali


Setelah menjadi raja dari setengah kerajaan, Ciung Wanara memenjarakan Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep. Namun, hal ini memicu amarah Hariang Banga, yang melancarkan perang melawan Ciung Wanara.


Pertempuran sengit terjadi di tepian Sungai Brebes. Namun, sebelum perang berlanjut, Prabu Permana Di Kusumah muncul bersama Dewi Naganingrum.


“Hentikan! Kalian bersaudara, pamali (dilarang) untuk bertarung satu sama lain,” tegas sang raja.


Sebagai solusi, Prabu Permana membagi wilayah kekuasaan: Ciung Wanara memimpin Galuh, sedangkan Hariang Banga memimpin wilayah timur Sungai Brebes, yang kemudian dikenal sebagai Sungai Pemali mengandung arti “larangan” untuk saling bermusuhan.


Warisan Sejarah

Legenda Ciung Wanara bukan hanya cerita tentang keluarga kerajaan, tetapi juga simbol hubungan erat antara masyarakat Sunda dan Jawa. Wilayah Sunda yang dipimpin Ciung Wanara menjadi cikal bakal Kerajaan Sunda Galuh, sementara wilayah Hariang Banga berkembang menjadi kekuatan Jawa Tengah dan Timur.


Hingga kini, legenda ini menginspirasi berbagai generasi dan diabadikan dalam bentuk cerita pantun Sunda serta tembang Jawa. Bahkan, pada masa perjuangan kemerdekaan, pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai menamakan pasukannya Ciung Wanara, mencerminkan semangat perjuangan yang tak kenal lelah.


Legenda ini terus hidup, menjadi saksi keindahan sejarah dan harmoni dua budaya besar di Nusantara.


(*)