Sejarah Mahaprabu Niskala Wastu Kancana: Raja Agung Kerajaan Sunda-Galuh
-->

Advertisement Adsense

Sejarah Mahaprabu Niskala Wastu Kancana: Raja Agung Kerajaan Sunda-Galuh

60 MENIT
Rabu, 15 Januari 2025

Ilustrasi pasukan Kerajaan Galuh saat menghadapi pasukan Kerajaan Sunda Kuno (zhovena)


Kisah ini bermula pada tahun 1348 di Kawali, Galuh, tempat lahirnya seorang calon pemimpin besar: Maharaja Niskala Wastu Kancana. Anak dari Prabu Maharaja Linggabuana dan Dewi Lara Linsing ini mewarisi takhta Kerajaan Sunda-Galuh bersatu, kerajaan yang wilayahnya membentang dari Sungai Citarum hingga Cipamali.


Namun, perjalanan hidupnya tidak dimulai dengan mudah. Pada usia 9 tahun, Niskala Wastu Kancana kehilangan ayah dan kakaknya, Dyah Pitaloka, dalam tragedi Palagan Bubat konflik yang mengoyak hubungan Sunda-Majapahit. Kepergian ayahnya memaksa pamannya, Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati, untuk memimpin kerajaan hingga Niskala Wastu Kancana cukup dewasa untuk memerintah.


Ketika mencapai usia remaja, Niskala Wastu Kancana mengembara ke Lampung, wilayah yang saat itu berada di bawah pengaruh Kerajaan Sunda. Di sana, ia menikahi Lara Sarkati, putri Raja Lampung, yang menjadi permaisuri pertamanya. Dari pernikahan ini, lahirlah dua anak:

 1. Sang Haliwungan – Kelak dikenal sebagai Prabu Susuk Tunggal, raja Sunda di Pakuan.

 2. Sang Haluwesi – Seorang tokoh penting yang memimpin proyek besar menguruk rawa Sanghyang Rancamaya.


Selain itu, ia menikah dengan Dewi Mayangsari, putri pamannya Prabu Bunisora. Dari pernikahan ini, lahirlah empat putra:

 1. Ningrat Kancana – Yang kemudian bergelar Prabu Dewa Niskala, penguasa Galuh di timur Citarum.

 2. Surawijaya

 3. Gedeng Sindangkasih

 4. Gedeng Tapa


Sebagai seorang pemimpin, Mahaprabu Niskala Wastu Kancana memerintah dengan damai selama lebih dari satu abad, dari tahun 1371 hingga 1475. Pemerintahannya ditandai oleh stabilitas dan kemakmuran, bahkan ketika Majapahit dilanda kekacauan internal akibat Perang Paregreg. Di tengah ketenangan kerajaannya, Niskala Wastu Kancana mengabdikan hidupnya pada spiritualitas, menjalani brata siya puja tan palum (bertirakat tanpa henti).


Ia wafat pada usia 126 tahun dan dimakamkan di Nusalarang, memperoleh gelar Sang Mokteng Nusalarang. Setelah wafatnya, ia membagi kerajaan kepada dua putranya:

 • Prabu Ningrat Kancana/Dewa Niskala memerintah di Galuh (1475–1482).

 • Prabu Susuk Tunggal/Sang Haliwungan memerintah di Sunda (1475–1482).


Konflik Antara Dua Raja: Sunda dan Galuh

Meski saudara, hubungan Prabu Ningrat Kancana dan Prabu Susuk Tunggal memburuk karena pelanggaran adat yang dilakukan Ningrat Kancana. Ia menikahi seorang gadis larangan dari Majapahit, melanggar sumpah leluhur yang menolak hubungan dengan Majapahit sejak Tragedi Bubat. Ketegangan ini akhirnya memuncak, memaksa keduanya turun takhta secara bersamaan pada tahun 1482, melalui keputusan musyawarah para sesepuh kerajaan.


Pengganti mereka adalah Pangeran Jayadewata, yang dinobatkan sebagai penguasa tunggal Kerajaan Sunda-Galuh. Ia menerima gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, membawa era baru persatuan dan kejayaan di bawah satu pemerintahan.


Pengungsi Majapahit di Kerajaan Galuh

Salah satu kisah menarik di era ini adalah kedatangan para pengungsi Majapahit, termasuk Raden Baribin. Sang pengungsi diterima dengan tangan terbuka oleh Prabu Ningrat Kancana, bahkan dinikahkan dengan putrinya, Ratna Ayu Kirana. Hubungan ini membawa dampak besar, menurunkan para pemimpin di wilayah Banyumas dan Dayeuhluhur melalui keturunan mereka, seperti Banyak Catra dan Banyak Ngampar.


Akhir dari Era Sunda-Galuh

Setelah Jayadewata naik takhta, Kerajaan Sunda-Galuh bersatu di bawah Pajajaran. Namun, warisan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana tetap dikenang sebagai simbol keadilan dan kedamaian yang menjadi dasar kekuatan Kerajaan Sunda-Galuh di masanya.


Sejarah ini adalah cermin dari kejayaan, konflik, dan persatuan yang membentuk wajah Tatar Sunda. Warisannya hidup dalam ingatan rakyat, monumen, dan naskah-naskah kuno yang terus diceritakan hingga kini. 


(*)