Perkutut Liar Kanuragan Rondosemoyo (zhovena) |
Di sebuah desa yang dilanda kemarau panjang, seorang pemuda bernama Riko merasa putus asa. Sawahnya kering, sumur-sumur hampir kosong, dan hujan tak kunjung datang. Setiap hari, Riko duduk di tepi sumur yang retak, menatap dalam hampa ke dasar yang kosong.
Suatu pagi, ketika matahari mulai terik, ia mendengar suara burung perkutut. Ia menoleh dan melihat seekor burung kecil bertengger di cabang pohon mati di dekatnya. Burung itu tampak tenang meskipun di tengah kekeringan.
"Riko," burung itu berkata, "mengapa kau hanya duduk di sini dan menunggu?"
"Apa lagi yang bisa kulakukan?" jawab Riko lesu. "Tanpa air, semuanya sia-sia."
Burung perkutut itu tersenyum bijak. "Air tidak selalu datang dari hujan, Riko. Kadang, kau harus mencarinya dengan usaha yang lebih keras. Jangan hanya menunggu; cobalah untuk menggali lebih dalam."
Kata-kata burung itu membuat Riko merenung. Ia teringat cerita kakeknya tentang mata air yang tersembunyi di tanah yang lebih dalam. Dengan harapan baru, Riko mulai menggali sumurnya lebih dalam, meskipun tanah itu keras dan panas. Hari demi hari ia bekerja tanpa lelah, menggali dengan tekad yang tumbuh kembali.
Akhirnya, pada hari ketujuh, air mulai muncul perlahan dari dasar sumur. Riko terkejut dan terharu. Air itu jernih dan segar, membawa kehidupan baru bagi sawahnya dan desa sekitarnya.
Burung perkutut itu kembali, berkicau riang di dahan pohon. "Lihatlah, Riko. Air itu selalu ada, tetapi kau harus berani menggali lebih dalam untuk menemukannya. Begitu pula dengan harapan dan solusi dalam hidupmu. Kadang, kau hanya perlu usaha yang lebih keras untuk menemukannya."
Riko tersenyum, menyadari kebenaran kata-kata burung itu. Sejak hari itu, ia tak lagi mudah menyerah. Ia belajar bahwa di tengah kesulitan, selalu ada jalan jika ia bersedia berusaha lebih keras dan lebih dalam. Air dari sumurnya kini menjadi sumber kehidupan baru, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi desanya.
(*)