Biografi Hamengkubuwono I
-->

Advertisement Adsense

Biografi Hamengkubuwono I

60 MENIT
Sabtu, 04 Januari 2025

Lukisan Sri Sultan Hamengkubuwono I (disadur oleh Zhovena)


SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO I 

Dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. 


Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram, beliau akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta. 


Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa. Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal pada tanggal 27 November 1730, beliau kemudian diangkat menjadi Pangeran Lurah. 


Yaitu pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa, beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. 


Mengenai ketaatan mencontohkan Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan dalam Serat Cebolek Disitu dijelaskan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis, sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula diceritakan bahwa beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan bantuan kepada yang lemah. Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya. Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 


Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit. Pada tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana di antaranya terdapat 2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga k masyarakat umum pada tahun 1750.


Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745. 


Untuk menyampaikan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu Susuhunan Paku Buwono mengadakan sayembara yang diterima dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. 


Akan tetapi, akibat penghianatan dan keadaan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung langkah Pangeran Mangkubumi mencapai jalarn buntu. Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari istana dan memulai serangan terbuka terhadap VoC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. 


Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.


Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono semakin menurun. 


Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada V0C pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin memanas. 


Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan banyak pasukannya yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Kegagalan perjuangan mengakibatkan Gubernur Hohendroff, mundur. Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga ikut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. 


Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Selanjutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.


Perubahan kepemimpinan ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa dicapai dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.


Yekti Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. 


Kesepakatan yang diperoleh merupakan rencana awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono Kata persetujuan dari Paku Buwono diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. 


Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak- pihak terkait. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 ( 29 Jumadilawal 1680 ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.


(*)