170 Tahun Meninggalnya Pangeran Diponegoro
-->

Advertisement Adsense

170 Tahun Meninggalnya Pangeran Diponegoro

60 MENIT
Kamis, 09 Januari 2025

Pangeran Diponegoro (sumber : Perpunas RI by. zhovena)


Tanggal 8 Januari 2025 adalah bertepatan dengan 170 tahun meninggalnya Pangeran Diponegoro (8 Januari 1855). Pangeran Diponegoro atau Raden Ontowiryo  adalah putera tertua dari Sultan Hamengkubuwana III dan seorang pahlawan Republik Indonesia yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa  (1825-1830) melawan penjajahan Belanda.


Banyak sudah karya tulis maupun buku-buku yang membahas Pengeran Diponegoro, di antaranya:

Sun Amedar Suasaning Ati, Atembang Pamiyos.

Pan Kinaryo Anglipur Brangtane,

Aneng Kita Menado Duk Kardi

Tan Anak Kaeksi.


Ini adalah bait pertama dari rangkaian tembang pada naskah asli setebal 700 halaman. Dalam manuskrip tulisan tangan berhuruf Jawa, bait pertama tadi menyebutkan:


"Aku ingin menyatakan perasaan  lewat tembang ini. Untuk menghibur hati, karena selama di kota Manado, tak ada sesuatu yang bisa kulihat"


Secara lancar, puisi yang diawali tembang Mijil (pupuh) tersebut segera mengemukakan maksud, mengapa penulisnya (Pangeran Diponegoro sendiri)  mengungkapkan kenang-kenangan. Dilukiskannya bahwa: 


"...sakit, malu dan penderitaan hebat telah kurasakan. Meskipun demikian, terhadap seluruh keluarga yang benar-benar melaksanakan amalan Nabi, aku senantiasa mengharapkan datangnya pertolongan Tuhan. "


“Bagaimana nasibku seandainya tak mendapatkan ampunan? Aku akan sangat menderita. Maka agar memperoleh kasih Tuhan, ku tulis tembang ini, untuk menyamarkan kebingungan (hati)”


Pangeran Diponegoro, dengan kalimat-kalimat jujur, menceritakan segala pengalamannya. Dengan membaca Memoar Pangeran Diponegoro, bayangan kita selama ini mengenai diri Diponegoro, ternyata belum utuh. Ada sebuah sisi tertentu pada diri pahlawan tersebut yang tak pernah kita perkirakan sebelumnya.


Bagaimanapun juga, Diponegoro terbukti melakukan apa yang sewajarnya dilakukan oleh seorang tokoh sejarah. Pangeran Diponegoro menuliskan sendiri memoarnya, sejak hari pertama dalam pengasingan di Manado. Dirampungkan di tempat paling akhir, di Fort Rotterdam, Makassar.


Memoar karya pahlawan besar ini telah diterjemahkan oleh Amen Budiman. Dari bentuk semula puisi berhuruf dan berbahasa Jawa, dialihkan dalam bentuk prosa bahasa Indonesia. Buku kenang-kenangan pribadi Diponegoro tersebut seluruhnya terbit dalam enam jilid. 


Bagian pertama menggambarkan betapa menderitanya pahlawan ini dalam pengasingannya.

Bagian kedua, mengisahkan uraian berbagai ramalan mengenai Kesultanan Yogyakarta.

Bagian ketiga mengisahkan sejak percikan pertama api pertempuran di Tegalrejo Barat kota Yogyakarta Tahun 1825 sampai tanggal 28 Maret Tahun 1830 tatkala ia ditangkap dalam perundingan di Magelang berlanjut sampai perjalanan pembuangan di Semarang, Jakarta, Manado dan Makassar.


Namun apapun juga sebuah karya asli serta kenang-kenangan perjuangan seorang pahlawan nasional tidak bisa diabaikan. Setiap penulisan sejarah Perang Jawa, tak akan bisa dinilai lengkap, tanpa mempergunakan Babad Diponegoro sebagai salahsatu dasarnya. Itulah sebabnya Babad Diponegoro menjadi salahsatu dari warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat berharga.


Sumber: Kompas 5 Feb 1980, hal 1 ko. 7-9, bersambung ke hal  5 kol 7-9. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba – Perpustakaan Nasional RI (Skala-team)


(*)