Legenda Jaka Tingkir dan Buaya (zhovena) |
Pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda bernama Mas Karebet di desa kecil bernama Tingkir. Pemuda ini dikenal cerdas, berani, dan memiliki tekad yang kuat. Orang-orang menyebutnya Jaka Tingkir. Namun, siapa sangka, di balik kesederhanaannya, Jaka Tingkir ditakdirkan menjadi tokoh besar yang dikenang sepanjang zaman.
Suatu hari, Jaka Tingkir merasa panggilan dalam dirinya untuk menuntut ilmu demi memajukan hidup dan desanya. Ia meninggalkan kampung halamannya dan berguru kepada orang-orang bijak. Salah satu gurunya adalah Ki Buyut Banyubiru, seorang empu sakti yang tinggal di kaki Gunung Merapi.
Ki Buyut Banyubiru dikenal memiliki kemampuan membuat pusaka bertuah. Dari tangan dinginnya, lahirlah pusaka bernama Kiai Bajulgiling, sebuah ikat pinggang yang dibuat dari bijih baja murni yang diambil dari perut Gunung Merapi dan dilapisi kulit buaya. Tidak sembarang orang dapat memakai pusaka ini, sebab hanya mereka yang berhati teguh dan berjiwa besar yang mampu menguasai kekuatannya.
Jaka Tingkir diuji oleh Ki Buyut Banyubiru untuk membuktikan keberanian dan keteguhan hatinya. Ia diminta menaklukkan seekor buaya besar yang menjaga sungai di sekitar hutan Banyubiru. Dengan doa dan keberanian, Jaka Tingkir melawan buaya itu. Ia tidak menggunakan senjata tajam, hanya kepercayaan diri dan pelajaran dari gurunya. Akhirnya, buaya itu tunduk, dan sejak saat itu, Kiai Bajulgiling menjadi miliknya.
Pusaka tersebut memiliki kekuatan luar biasa. Siapa pun yang mengenakannya akan kebal dari senjata tajam dan tidak akan diganggu oleh binatang buas. Namun, pusaka ini juga memiliki syarat: pemiliknya harus memegang teguh keadilan dan kebenaran.
Setelah mendapat ilmu dan pusaka dari Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan ke Kesultanan Demak untuk mengabdi. Ketika ia melamar sebagai pengawal pribadi Sultan, raja memintanya menunjukkan kesaktian. Ia diberi ujian berat: menyeberangi sungai besar yang dipenuhi buaya ganas.
Jaka Tingkir berjalan dengan tenang menuju sungai itu. Dengan ikat pinggang Kiai Bajulgiling di pinggangnya, ia melangkah masuk ke air. Ajaib! Buaya-buaya yang semula ganas langsung menjadi jinak. Mereka bahkan berbaris mengawal Jaka Tingkir hingga ke seberang sungai. Melihat kejadian itu, Sultan Demak tak ragu menerima Jaka Tingkir sebagai pengawalnya.
Perjalanan hidup Jaka Tingkir tak berhenti di sana. Setelah runtuhnya Kesultanan Demak, ia mendirikan kerajaan baru di tanah Pajang dan menjadi raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Di bawah kepemimpinannya, Pajang menjadi kerajaan yang makmur dan disegani.
Hingga kini, kisah Jaka Tingkir dan pusaka Kiai Bajulgiling terus diceritakan dari generasi ke generasi. Ia menjadi simbol keberanian, keadilan, dan keteguhan hati, mengajarkan bahwa siapa pun yang berani menghadapi tantangan dengan hati yang tulus, akan mencapai kejayaan.
(*)