Relife situs bersejarah di makam Prabu Aji Putih di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang (oleh: zhovena) |
“Kerajaan Tembong Agung: Cikal Bakal Sumedang Larang, Pewaris Kejayaan Pajajaran di Tanah Priangan”
Kerajaan Tembong Agung adalah salah satu kerajaan penting di Nusantara, terutama dalam sejarah Tatar Pasundan yang berdiri sekitar abad ke-8 hingga ke-14. Kerajaan ini diyakini sebagai asal mula berdirinya Kerajaan Sumedang Larang, yang kelak mendapatkan legitimasi penuh dari Kerajaan Pajajaran. Legitimasi tersebut disahkan melalui pemberian mahkota Binokasih dan perangkat kerajaan lainnya kepada Sumedang Larang pada tahun 1579 Masehi, sebagai pewaris sah Kerajaan Sunda. Penyerahan ini dilakukan oleh empat maha patih atau Kandaga Lante, sehingga mengukuhkan Sumedang Larang sebagai penerus Pajajaran.
Salah satu situs bersejarah yang tersisa adalah makam Prabu Aji Putih di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang. Prabu Aji Putih dipercaya sebagai raja pertama Kerajaan Tembong Agung, yang kemudian menjadi cikal bakal Sumedang Larang. Pada abad ke-8, Prabu Guru Aji Putih, seorang resi dari Galuh, mendirikan struktur pemerintahan di wilayah sekitar Sungai Cimanuk yang kemudian tumbuh menjadi kerajaan. Kehadiran Prabu Guru Aji Putih membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat setempat, membentuk desa-desa menjadi bagian dari pemerintahan yang terstruktur, hingga akhirnya berdirilah Kerajaan Tembong Agung.
Prabu Guru Aji Putih memiliki putra bernama Prabu Tajimalela. Menurut catatan dalam Kropak 410, Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan tokoh Ragamulya, penguasa Kawali sekitar tahun 1340–1350, serta tokoh Suradewata dari Majalengka. Pada masa pemerintahannya, Prabu Tajimalela mengembangkan sektor pertanian di sepanjang Sungai Cimanuk, peternakan di Paniis Cieunteung, dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk, Situraja. Ia berhasil menaklukkan pemberontakan yang dipimpin oleh Gagak Sangkur di Gunung Cakrabuana dan mengangkatnya sebagai patih.
Legenda mencatat bahwa ketika Prabu Tajimalela mencapai pencerahan spiritual, ia mengucapkan kata “Insun Medal Mandangan” yang kemudian berkembang menjadi nama Sumedang. Setelahnya, kepemimpinan Kerajaan Sumedang Larang diteruskan oleh Prabu Gajah Agung, yang menetap di pinggir Sungai Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan, yang kelak memberi nama Ciguling.
Kerajaan Sumedang Larang mengalami berbagai perubahan dinasti hingga pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umum. Ia menikah dengan Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri, putra Pangeran Palakaran. Melalui pernikahan ini, agama Islam mulai tersebar di Sumedang. Ratu Pucuk Umum melahirkan enam orang putra, termasuk Raden Angkawijaya yang kemudian dikenal sebagai Prabu Geusan Ulun.
Pada tahun 1578, Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Raja Sumedang Larang dan menerima mandat untuk melanjutkan warisan Kerajaan Pajajaran. Setelah Pajajaran runtuh akibat serangan pasukan Banten, Sumedang Larang yang telah menganut Islam tetap berdiri sebagai kerajaan yang mandiri dan berdaulat. Sebagai bentuk pengakuan, empat Kandagalante dari Pajajaran menyerahkan mahkota dan atribut kerajaan kepada Prabu Geusan Ulun sebagai simbol penerus Pajajaran.
Namun, pada tahun 1620, penerus Geusan Ulun, Pangeran Aria Suriadiwangsa, membawa Sumedang Larang di bawah naungan Kerajaan Mataram. Melalui piagam dari Sultan Agung Mataram, wilayah Sumedang Larang dikenal sebagai “Prayangan” atau Priangan, yang berarti “berserah dengan hati yang suci.” Sejak saat itu, status Sumedang Larang berubah menjadi Bupati Wedana, memimpin wilayah Priangan di bawah otoritas Mataram.
(*)