Ciung Wanara (zhovena) |
Ciung Wanara, sebuah cerita rakyat epik yang berasal dari tanah Sunda, telah menjadi bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Kisah ini tak hanya mengisahkan sejarah Kerajaan Galuh, tetapi juga melambangkan harmoni antara masyarakat Sunda dan Jawa yang tinggal di wilayah barat Jawa Tengah.
Kelahiran yang Penuh Keajaiban.
Ciung Wanara lahir pada tahun 718 dari pasangan Permana Dikusumah dan Naganingrum. Namun, perjalanan hidupnya penuh dengan lika-liku takdir. Sejak bayi, ia dihanyutkan di Sungai Citanduy oleh ibunya yang dipaksa meninggalkan istana. Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang petani yang merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Nama Ciung Wanara diambil dari burung ciung dan ayam jantan (wanara) yang mengiringi perjalanannya. Keduanya menjadi simbol kekuatan dan kebijaksanaan yang kelak menemani langkahnya menuju takdir sebagai pemimpin besar.
Kebangkitan Sang Pewaris Tahta.
Seiring waktu, Ciung Wanara mengetahui jati dirinya sebagai pewaris sah Kerajaan Galuh. Dengan kecerdasan dan keberaniannya, ia berhasil merebut tahta dari Tamperan Barmawijaya, raja yang zalim dan perebut haknya. Setelah menduduki tahta, Ciung Wanara, yang juga dikenal dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana, memerintah Kerajaan Galuh dengan bijaksana dari tahun 739 hingga 783.
Warisan Budaya dan Keharmonisan.
Cerita ini bukan hanya tentang kepahlawanan, tetapi juga menggambarkan asal muasal nama Sungai Pemali dan menegaskan pentingnya hubungan budaya antara masyarakat Sunda dan Jawa. Ciung Wanara menjadi simbol harmoni yang melampaui batas wilayah dan perbedaan etnis.
Kesimpulan.
Legenda Ciung Wanara adalah warisan berharga yang mengajarkan nilai keberanian, keadilan, dan persatuan. Kisah ini terus hidup dalam hati masyarakat Indonesia sebagai pengingat akan kebesaran leluhur Nusantara.
(*)