Yan Malino (Foto by Oksal) |
PARADOKS SEKTARIAN MENUJU PILKADA TORAJA 2024
Oleh: Yan Malino
Percakapan politik berbasis sektarian aliran gereja mewarnai diskusi di media sosial menuju Pilkada Toraja 2024. Berdasarkan amatan bacaan dibeberapa medsos, perdebatan berada dalam narasi antara politik identitas dan identitas politik. Umumnya menyadari dampak dari politik identitas dengan mengingat peristiwa pilkada DKI Jakarta 2017. Namun pentingnya identitas politik menggiring dalam wacana paradoks sektarian keagamaan.
Paradoks adalah suatu pernyataan atau sistuasi yang tampak tidak masuk akal; tetapi setelah direnungkan secara mendalam, maka bisa menjadi benar dan masuk akal. Jika pernyataan atau situasi paradoksal itu, didukung oleh berbagai data dan bukti pengalaman ketidakadilan atau kesewenang-wenangan perlakuan politik empiris terhadap warga “mayoritas” atau “minoritas”, maka itu menjadi benar dan masuk akal. Yang mayoritas atau minoritas tampak menjadi benar dan masuk akal menyatukan kekuatan sektarian merebut kekuasaan politik dalam bingkai semangat identitas politik. Tetapi pada sisi yang lain, menjadi tidak benar ketika dalam praktik politik, menjelma menjadi politik identitas yang mempeta konflik warga masyarakat dengan mengusung isu identitas sektarian keagamaan. Situasi yang seperti itu, menjadi salah satu tantangan utama menjelang Pilkada Toraja 2024; di samping tantangan politik uang dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang lasim dikenal serangan fajar, terutama di kabupaten Toraja Utara.
Menurut Agus Supratikno, keberadaan sila pertama dari Pancasila menunjukkan keberadaan politis agama dalam demokrasi Indonesia sebagai sebuah keniscayaan. Agama sebagai fondasi kehidupan spiritual umat, ibarat magnet yang menarik minat politisi dalam proses pertarungan perebutan kekuasaan dengan memanfaatkan isu agama sebagai alat politik. Menurut studi Liddle, politik identitas berbasis agama dapat mengarah pada polarisasi masyarakat; jika tidak dikelola dengan baik. Ini menunjukkan bahwa sektor keagamaan yang digunakan sebagai alat politik tidak hanya merusak harmoni sosial, tetapi juga memperkeruh proses demokrasi.
Sektarianisme dapat mengancam moderasi beragama sebagai ciri khas masyarakat Toraja yang menjunjung tinggi nilai “karapasan” (harmoni). Demi “karapasan”, maka leluhur Toraya menghidupi filosofi “Unnali Melo” (mengusahakan kebaikan). Selama ini, Toraja dikenal sebagai miniatur toleransi beragama di Sulawesi Selatan. Adanya kepentingan politik memanfaatkan pilihan sektarian dengan politik adu domba, masyarakat bisa kehilangan semangat kebersamaan dan merusak kohesi sosial masyarakat. Menurut survei, masyarakat yang terdampak oleh politik sektarian menunjukkan penurunan tingkat kepercayaan terhadap institusi agama dan pemerintahan lokal. Dampak ini, tidak hanya merusak hubungan antaragama, tetapi juga melemahkan struktur sosial masyarakat secara keseluruhan.
Toraja sangat rentan terhadap dampak negatif dari ketegangan sosial yang disebabkan oleh isu sektarian keagamaan menuju Pilkada 2024. Penting bagi para pemimpin lokal dan tokoh agama untuk berperan aktif dalam menjaga keharmonisan di tengah perbedaan menjelang Pilkada 2024.
Referensi:
Supratikno, Agus. Agama Dan Politik. (Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2023), 26-31.
R. William Liddle. Identity Politics in Indonesia: Religion and Ethnicity as Electoral Instruments. (Oxford: Oxford University Press, 2010), 152.
A. Mulder. Religious Moderation in the Age of Politics.(New York: Routledge, 2019), 78.