Gusti Ayu Made Rai, Putri I Gusti Ngurah Gede Pemecutan / Raja Pamecutan (zhovena) |
Ada sebuah makam keramat di komplek pemakaman Hindu Setra Agung Badung yang tak pernah sepi dari peziarah. Itulah makam Raden Ayu Siti Khotidjah.
Ini kisahnya :
Menjelang bulan ramadan, makam di Jalan Batukaru Denpasar Barat yang dianggap keramat oleh sebagian umat Hindu dan Muslim ini selalu menjadi tempat ziarah dan ngalap berkah atau barokah bagi warga muslim dan non muslim.
Namun, siapa sangka, di balik kepercayaan adanya karomah di makam keramat Agung Raden Ayu Siti Khotidjah bagi sebagian warga, ada kisah sangat tragis dan memilukan yang dialami putri raja itu.
Dikisahkan dalam buku yang disusun Jro Mangku I Made Puger, Juru Kunci Makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Khotijah. I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, raja Pemecutan Denpasar kala itu memiliki seorang putri cantik yang sangat ia sayangi.
Dia adalah Gusti Ayu Made Rai. Kecantikan putri mahkota itu bahkan disebutkan sangat tersohor di seantero Bali. Tak sedikit karena kecantikannya, banyak pangeran atau putra dari kerajaan lain yang ingin mempersuntingnya.
Singkat cerita, saat Gusti Ayu Made Rai beranjak remaja, musibah menimpa. Gusti Ayu Made Rai mengidap penyakit kuning atau kini lebih dikenal dengan liver. Bertahun-tahun Gusti Ayu Made Rai mengidap penyakit kuning.
Meski sejumlah balian (dukun) sakti telah dipanggil untuk mengobati, namun penyakit yang dideritanya tak kunjung bisa disembuhkan. Hingga akhirnya, sang ayah (Raja Pemecutan) mengadakan tapa semedi (menyatukan Sapda, bayu, dan idep) di merajan (tempat suci istana)
"Saat tapa semedi, ayah Gusti Ayu Made Rai (I Gusti Ngurah Gede Pemecutan) mendapat pawisik (bisikan dari Yang Maha Kuasa) agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan sayembara," kata Jro Mangku I Made Puger.
Pengumuman sayembara itu tidak hanya dilakukan di Bali. Melainkan, sayembara juga terbuka bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja saat menggelar sayembara saat itu.
Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit putrinya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia seorang laki-laki, jika memang jodohnya maka akan dinikahkan.
"Sabda sayembara Raja Pemecutan didengar oleh ulama dari Yogyakarta. Ulama ini memiliki ilmu kebatinan tinggi dan memiliki anak didik kesayangan dari Bangkalan, Madura, bernama Pangeran Cakraningrat IV," terang Jro Mangku Puger.
Ulama dari Yogyakarta itu kemudian memanggil Pangeran Cakraningrat IV untuk datang ke Yogyakarta. Setelah menghadap, sang ulama memerintahkan agar Pangeran Cakraningrat IV pergi ke tanah Bali untuk menemui Raja Pemecutan
Kemudian, atas perintah dari sang guru, Pangeran Cakraningrat IV akhirnya berangkat ke Bali dengan kawalan 40 orang prajurit. Pangeran Cakraningrat IV ternyata berhasil menyembuhkan putri raja.
Keduanya lalu menikah disaksikan seluruh keluarga besar Kerajaan Pemecutan beserta 40 orang pengawal pangeran. Berselang beberapa hari setelah menikah, Pangeran Cakraningrat IV memutuskan kembali ke Bangkalan Madura dengan mengajak serta sang istri.
Sesampainya di Madura, kedua mempelai kembali menjalani upacara pernikahan secara Islam. Gusti Ayu Made Rai pun menjadi mualaf dan mengubah namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah atau Raden Ayu Pemecutan.
Beberapa tahun setelah menetap di Madura, Raden Ayu memutuskan untuk pulang ke Bali untuk menjenguk orang tua dan keluarganya. Atas izin sang suami, ia lantas berangkat dengan pengawalan 40 prajurit.
Pangeran Cakraningrat IV tidak menemani Raden Ayu ke Bali. Ia hanya memberikan bekal sebuah guci dengan uang kepeng di dalamnya, keris, dan pusaka yang diselipkan di rambut.
Setibanya di Bali, Raden Ayu disambut baik oleh sanak keluarganya. Namun kesalahpahaman sang raja membuat kisah Raden Ayu berakhir tragis.
Ketika Raden Ayu menjalankan sholat dengan mukena putih di malam hari, patih kerajaan justru mengira Raden Ayu sedang melepaskan ilmu hitam (ngeleak).
Patih segera melaporkan hal itu kepada raja. Tanpa bertanya langsung kepada Raden Ayu, sang raja langsung memerintahkan patih untuk membunuh Raden Ayu.
Oleh patih kerajaan, Raden Ayu lantas diajak ke Setra Badung. Ikut serta bersama mereka, para pengawal dan dayang dayang yang diajak dari Bangkalan Madura, beserta pengiring dari istana.
Raden Ayu rupanya sudah menduga bahwa patih kerajaan mengajaknya ke Setra Badung untuk dibunuh. Ia lantas mempersilahkan patih untuk melakukan tugas yang diberikan ayahnya, karena ia menghormati sang ayah.
Raden Ayu sempat menjelaskan bahwa ia hanya melakukan sholat, menunaikan ibadah agamanya (Islam). Ia juga meminta kepada patih agar melemparkan tusuk konde miliknya ke arah dada kirinya.
Raden Ayu pun berpesan bila tubuhnya mengeluarkan asap berbau busuk, ia meminta patih untuk menanam jenazahnya sembarangan. Sebaliknya, bila jenazahnya berbau harum, ia meminta dibuatkan tempat suci atau Keramat.
Rupanya tubuh Raden Ayu mengeluarkan bau yang sangat harum seperti bau kemenyan madu, menyebabkan seluruh kawasan Setra Badung seluas 11 hektar itu wangi.
Setelah mendengar cerita patih kerajaan, sang raja pun menyesal telah mengeluarkan perintah yang emosional. Raja lantas membuatkan tempat suci sebagai makam sang putri, serta memerintahkan kepala istana untuk menjaga makam tersebut hingga sekarang.
(*)