Kondisi peradaban daerah Lereng Gunung Agung Bali (net) |
Sekelompok turis asal Amerika Serikat terdiri dari lima orang: Jack, David, Sarah, Emily, dan Mike. Mereka baru saja menyelesaikan pendakian Gunung Agung di Pulau Bali dan tengah dalam perjalanan pulang, hingga pada suatu ketika mereka tersesat di sebuah desa terpencil yang tampak sangat asri. Desa ini begitu sejuk, dengan banyak rumah kuno yang masih berdiri megah. Penduduk desa menyambut mereka dengan ramah, menyediakan sebuah bale untuk mereka beristirahat. Mereka diizinkan tinggal di desa tersebut dengan syarat tidak melakukan tindak asusila dan tidak masuk ke pura besar pelinggihan di hutan.
Hari pertama, mereka berkenalan dengan penduduk desa yang tampak ramah dan mengucapkan selamat datang di desa Banua Waya. Mereka juga bertemu dengan sekitar lima belas anak kecil berusia antara tujuh hingga sebelas tahun yang kesehariannya hanya bermain. Jack dan yang lainnya merasa heran melihat anak-anak yang selalu bermain dan tidak pernah terlihat bersekolah. Mereka pun berinisiatif mengajari anak-anak itu menulis, membaca, dan berhitung.
Hari-hari berlalu dengan damai, mereka sangat kerasan tinggal desa tersebut. Namun ada beberapa hal yang mulai mengganjal. Setiap hari, Pak Ketut, seorang petani, selalu pergi ke sawah dengan ekspresi datar dan menyapa mereka dengan ucapan yang sama: "Astungkara" bukan
"Om Swastyastu" seperti masyarakat Bali pada umumnya, yang membuat heran, aktivitas Pak Ketut selalu sama setiap hari, seolah-olah diulangi dengan presisi yang menakutkan. Misalnya, setiap pagi Pak Ketut keluar rumah tepat pukul 6:00, menyapa mereka dengan senyum yang sama dan ucapan "Astungkara," lalu pergi ke sawah dengan langkah yang sama.
Jack mulai memperhatikan hal-hal ganjil lainnya. Ibu Made, yang selalu menyapu halaman rumahnya, melakukannya dengan gerakan yang sama setiap pagi, tepat pukul 7:00. Anak-anak yang mereka ajari juga menunjukkan hal yang sama. Jika hari ini mereka diajari berhitung 1+1, besok mereka harus diajari lagi seolah-olah pelajaran sebelumnya tidak pernah terjadi.
David dan Emily, yang penasaran dengan pura pelinggihan besar di hutan, penasaran dan memutuskan untuk mencari informasi lebih jauh. Suatu malam, mereka menyelinap ke pura tersebut. Keesokan harinya, Jack, Sarah, dan Mike mencari mereka, tetapi hanya menemukan jejak darah. Pak Wayan, seorang tetua desa, mengingatkan mereka bahwa waktu mereka di desa sudah selesai karena mereka telah melanggar aturan.
"Sebelum kalian pergi, bolehkah kami menunggu teman kami?" tanya Jack dengan suara gemetar.
Pak Wayan menatap mereka dengan mata tajam namun lembut. "Teman kalian tidak akan pernah kembali," jawabnya.
Mereka diminta meninggalkan desa tepat jam 12 malam dan dilarang menoleh ke belakang atau menghiraukan apapun yang terjadi. Malam itu, dalam kegelapan, mereka berjalan dengan hati-hati. Jack, Sarah, dan Mike merasakan suasana semakin mencekam. Bayangan api muncul dari segala arah, mencoba menyambar mereka. Mike, yang tidak tahan dengan tekanan, mencoba menangkap salah satu bayangan api tersebut dan tewas seketika.
Tampak pemandangan di Lereng Gunung Agung Bali. |
Setelah perjalanan panjang dan menegangkan, mereka akhirnya sampai di kantor polisi Besakih saat matahari terbit. Dengan terengah-engah, mereka menceritakan seluruh kejadian aneh yang mereka alami. Namun, alangkah terkejutnya mereka saat polisi setempat menginformasikan bahwa desa yang mereka maksud, Desa Banua Waya, sudah musnah pada tahun 1963 saat letusan besar Gunung Agung. Desa tersebut sudah lama tidak berpenghuni. Sarah yang tidak percaya mengeluarkan bukti ponselnya saat dia mengajar, betapa mengejutkannya, tampak dalam dalam ponsel Sarah hanya mengajar sendiri di depan bangku-bangku kosong. Sarah tampak shock dengan apa yang dilihatnya.
Tak berapa lama polisi memberikan mereka sebuah headline surat kabar yang menceritakan "5 turis pendaki Gunung Agung hilang" tanggal 4 Juni 2020 dan sekarang 5 November 2020, jadi mereka hilang selama 5 bulan padahal mereka merasa cuma sekitar 5 hari di desa tersebut.
Sarah yang gemetar memandang Jack. “Apakah kita hanya berhalusinasi?” bisiknya dengan suara serak. Jack hanya bisa memandangi polisi dengan tatapan kosong. “Tidak, Sarah. Apa yang kita alami sungguh nyata. Tapi mungkin. kita terjebak dalam dunia lain.”
Mereka segera ingin beranjak meninggalkan kantor polisi dengan perasaan campur aduk. Tapi dicegah para tetua adat dan menyarankan mereka untuk melakukan pensucian terlebih dahulu untuk menetralisir energi negatif dari tubuh mereka. Setelah proses pensucian selesai, pihak Kedubes AS melakukan penjemputan di Denpasar, jasad ketiga teman mereka tidak pernah diketemukan. Kenangan tentang Desa Banua Waya akan selalu menghantui mereka, menjadi kisah horror yang akan mereka ceritakan dengan penuh ketakutan.
(by Net)