Ki Narantaka (zhovena) |
Sejarah ๐๐๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ง๐๐๐ง ๐๐๐ฅ๐๐ซ ๐๐ฎ๐ฅ๐ญ๐๐ง ๐๐๐ ๐ข ๐๐๐ฃ๐ ๐๐๐ญ๐๐ซ๐๐ฆ
Walaupun babad-babad dari Jawa menyebutkan bahwa penguasa Demak dan Pajang telah menggunakan gelar Sultan, namun bukti-bukti sumber primer yang berasal dari catatan atau surat-surat Belanda dan Eropa lainnya menunjukkan bahwa Sultan Agung adalah raja Jawa pertama yang menggunakan gelar "Sultan" menggantikan gelar Susuhunan.
Gelar barunya adalah Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarani (disebut sebagai Sultan Abdul Mahomet Moulana Matavani dalam Dagh Register, 30 Okt. 1641, dalam surat tahun 1642 disebut sebagai Sultan Abdul Mahometh Molany Mattarany). Walaupun di pulau Jawa sendiri beliau bukanlah yang pertama menggunakan gelar Sultan karena lebih dulu digunakan oleh Sultan Banten pada 1638
Kira-kira pada pertengahan 1639, Susuhunan Agung mengirimkan utusan ke Arab dengan menumpang kapal Inggris untuk meminta gelar Sultan. Pada perjalan pulang, utusan ini dibawa oleh kapal Inggris dari Koromandel ke Banten, dari Banten diiringi oleh Ki Narantaka sebagai perwakilan Sultan Banten dan sampai ke Mataram pada 1641
Pada 1642, kapal Inggris bernama Reformation membawa 18 orang utusan Sultan Agung untuk pergi ke Mekkah, mungkin untuk berhaji, serta uang sebanyak 6.000 rial logam untuk disedekahkan kepada makam Nabi Muhammad Saw.
Belanda di Batavia yang mengetahui tentang perjalanan kapal ini kemudian mencegat dan menyerang kapal tersebut di sebelah barat pulau Onrust, di pihak Inggris 1 orang tewas dan 3-4 luka-luka, di pihak Mataram 3 orang "ulama" Jawa ditawan dan 5.740 rial logam disita, 15 orang jawa sisanya kemudian dibunuh karena mengamuk secara nekat.
Serangan ini kemudian direspons oleh Sultan Agung yang menganggap bahwa serangan kepada utusan Sultan yang akan berziarah ke Mekkah ini dianggap sebagai penghinaan, baik secara politis dan keagamaan.
Sultan kemudian melampiaskan kemarahannya kepada para tawanan Belanda di Mataram, kepada mereka semua yang tidak disunat dan tidak menikah secara Islam kemudian diborgol, kaki dan tangan dipasung dengan posisi kepala menunduk kebawah.
Pemimpin agama mereka yakni Antonie Paulo mendapatkan hukuman lebih berat, dia dituduh mempraktekkan sihir kepada sultan dan dihukum dengan dilempar ke kolam buaya, namun karena buaya tidak mau memakan dirinya, dia akhirnya dihukum dengan dipotong-potong dan kemudian dimakamkan.
Setelah wafatnya Sultan Agung pada 1645, para penerusnya tidak menggunakan gelar Sultan, namun kembali menggunakan gelar Susuhunan. Gelar Sultan baru digunakan kembali oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I, Sultan pertama Yogyakarta
Kesimpulan, setidaknya ada 2 hal mengapa Susuhunan Agung merubah gelarnya dari "Susuhunan" menjadi "Sultan", yakni:
1. Rencana penggantian gelar bagi Susuhunan Agung sebetulnya telah dimulai pada Sidang istana pada 1636, pada mulanya gelar yang akan dipakai adalah "Ratu Mataram", namun pada 1638, Sultan Banten mendapatkan gelar "Sultan" dan juga bendera dari Mekkah, Hal ini kemudian menyebabkan Susuhunan Agung merasa iri dan menginginkan gelar "Sultan" juga
2. Pada tahun 1638, menurut sumber Belanda Susuhunan Agung diejek oleh Raja Bali (tidak disebutkan namanya) dengan sebutan Key Patee (Kiai Patih), dianggap hanya sebagai sekelas penguasa rendahan.
Hal ini tentunya mengingatkan kita ketika Trunojoyo menghina Sunan Amangkurat II dengan ungkapan "Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi” ( Raja Mataram itu saya umpamakan tebu; masakan ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi).
Trunojoyo sendiri mengklaim bahwa dirinya masih keturunan raja Majapahit sehingga menganggap dirinya setara atau lebih tinggi daripada Raja Mataram yang menurutnya hanya keturunan petani.
Hal yang sama pula mungkin terjadi ketika Raja Bali menghina Sultan Agung dengan sebutan Kiai Patih karena Raja Bali juga mengklaim mereka keturunan Majapahit.
Hal ini mengindikasikan bahwa diluar kraton Mataram, banyak pihak yang meragukan klaim legitimasi Mataram sebagai keturunan Majapahit via Bondan Kejawan sehingga Sultan Agung merasa perlu legitimasi lain selain legitimasi keturunan raja Majapahit, yakni legitimasi keagamaan berupa gelar "Sultan"
Sumber:
Hรคgerdal, H. (1998). From Batuparang to Ayudhya. : Bali and the Outside World 1636-1656. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 154(1), 55–94
de Graaf, H.J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Sรฉda-ing-Krapjak (1601-1613). Leiden, The Netherlands: Brill.
Mujanto, G., (1987). Konsep kekuasaan Jawa penerapan oleh raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
(*)