Ilustrasi perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda |
Siapa itu Kerajaan Sunda?
Kerajaan Sunda ini sebelumnya sudah ada dan menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara. "Tarusbawa ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di Urasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama dari Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.PERANG BUBAT: PERANG TRAGIS AKIBAT SALAH PAHAM
Perang Bubat adalah konflik antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit yang terjadi pada tahun 1357. Perang ini terjadi di lapangan Bubat, dekat ibu kota Majapahit, dan dipicu oleh kesalahpahaman dan ketegangan politik terkait pernikahan antara Putri Dyah Pitaloka dari Sunda dan Raja Majapahit, Hayam Wuruk.
Kondisi Politik Saat Itu
Pada masa itu, Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk sedang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan ini dikenal karena kekuatannya yang besar dan wilayah kekuasaannya yang luas. Sementara itu Kerajaan Sunda, meskipun tidak sebesar Majapahit, adalah salah satu kerajaan yang berpengaruh di bagian barat Pulau Jawa.
Niat Pernikahan
Hayam Wuruk, Raja Majapahit, berencana untuk menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Raja Sunda, sebagai bagian dari upaya mempererat hubungan diplomatik antara kedua kerajaan. Raja Sunda, Maharaja Linggabuana, menerima lamaran ini dan memutuskan untuk mengantar putrinya ke Majapahit dengan tujuan pernikahan.
Perjalanan ke Majapahit
Raja Sunda, beserta putrinya Dyah Pitaloka dan rombongan, melakukan perjalanan ke Majapahit. Mereka tiba di lapangan Bubat, sebuah tempat yang cukup dekat dengan ibu kota Majapahit. Di sini, rombongan Sunda berkemah sambil menunggu upacara pernikahan.
Kesalahpahaman dan Konflik
Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang sangat berpengaruh, memiliki pandangan berbeda tentang pernikahan ini. Menurut beberapa sumber, Gajah Mada menginginkan agar Putri Dyah Pitaloka diperlakukan sebagai persembahan politik kepada Majapahit, bukan sebagai calon istri yang setara. Hal ini menimbulkan ketegangan dan dianggap penghinaan oleh pihak Sunda.
Pertempuran di Lapangan Bubat
Ketegangan semakin memuncak ketika Gajah Mada memaksa agar Dyah Pitaloka diserahkan sebagai tanda takluk. Raja Sunda, yang merasa terhina oleh permintaan tersebut, menolak dengan tegas. Akibatnya, terjadi pertempuran di lapangan Bubat antara pasukan Sunda yang jauh lebih kecil jumlahnya dan pasukan Majapahit yang lebih besar.
Dalam pertempuran ini, Raja Sunda, Dyah Pitaloka, dan hampir seluruh rombongan Sunda gugur. Menurut legenda, Dyah Pitaloka melakukan bela pati (bunuh diri) untuk menjaga kehormatannya setelah ayahnya dan Pasukan Sunda kalah dalam pertempuran.
SEKILAS TENTABG MAHARAJA PRABU LINGGABUANA YANG PUPUS
Maharaja Prabu Linggabuana atau Prabu Wangi adalah Raja dari Kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah pada 1350 – 1357. Ayahnya Prabu Ragamulya Luhurprabawa sementara ibunya bernama Dewi Uma Lestari.
Prabu Wangi dari permaisurinya ( Rara Rinsing) melahirkan dua orang anak yaitu (1) Dyah Pitaloka Citarasemi, dan (2) Niskala Westukencana.
Prabu Wangi dalam sejarah Sunda dikenal sebagai selah satu Raja besar, gelarnya Maharaja, hal ini memang karena beliau orang yang mampu menyatukan tanah Sunda menjadi satu Kerajaan lagi (Sunda & Galuh).
Sementara mengenai julukannya sebagai Prabu Wangi adalah berkaitan dengan kisah kewafatannya. Beliau wafat di Majapahit (Bubat) setelah dijebak Gajah Mada dan Bre Wengker.
Akibat dan Dampak Perang
Perang Bubat meninggalkan luka mendalam dalam hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit. Peristiwa ini dikenang sebagai tragedi besar dalam sejarah Sunda dan sering dijadikan simbol perlawanan terhadap penghinaan dan penindasan.
Pandangan Sejarah
Perang Bubat memiliki berbagai versi dan interpretasi dalam sejarah dan sastra. Kisah ini banyak diabadikan dalam naskah-naskah tradisional, seperti Pararaton dan Kidung Sunda. Namun, beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa detail-detail peristiwa ini mungkin telah dibesar-besarkan atau dimanipulasi untuk kepentingan politik dan budaya pada masa itu.
Kesimpulan
Perang Bubat adalah peristiwa tragis yang disebabkan oleh kesalahpahaman dan ketegangan politik antara dua kerajaan besar di Nusantara. Meskipun banyak detail peristiwa yang masih diperdebatkan, dampaknya terhadap hubungan antara Sunda dan Majapahit sangat signifikan, dan peristiwa ini tetap dikenang dalam sejarah dan budaya Jawa dan Sunda hingga hari ini.
(Zho)