Ilustrasi : Perjuangan Raden Fatahillah melawan Portugis. |
FATAHILLAH /PANGERAN JAYAKARTA.
Sultan Cirebon III (1568-1570)
Namanya dikenal dengan Faletehan, Fatahillah, Fatullah, Fadhlullah Khan, Fadhilah Khan, Maulana Fadhilah Khan, Ki Fadil, Tagaril, Tubagus Pase, Ratu Bagus Pase, Pangeran Pase, Wong Agung Pase, Ki Bagus Pase, Wong Agung Sebrang, Adipati Jayakarta I, dan Pangeran Jayakarta I (Fadhilah Khan putra Mahdar Ibrahim putra Abdul Ghofur putra Zainul Alam Barokat putra Jamaludin Husein Al-Akbar putra Ahmad Syah Jalaluddin putra Amir Abdullah putra Abdul Malik Azmatkhan.
Fadhilah Khan kemudian menikah dengan salah-satu putri Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan Nyai Mas Kawung Anten yang biasa dikenal dengan nama Ratu Wulung Ayu, Ratu Ayu Wangunan, Nyai Ratu Ayu, dan Syarifah Khadijah (adik Maulana Hasanudin). Syarifah Khadijah ini dinikahi oleh Fadhilah Khan setelah suaminya yang pertama Adipati Unus yang merupakan Panglima Sarjawala gugur (syahid) dalam memimpin pertempuran laut melawan Portugis di Selat Malaka.
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah adalah mertua beliau.
Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja kumawani.
(Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan sok berani).
Artinya: Peringatan agar dalam bertindak jangan setengah-setengah. Orang harus berani dan bisa mengukur kemampuan diri sebelum melakukan suatu tindakan.
Itulah sekelumit wejangan yang disampaikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1521, saat pemakaman Pate Unus. Seribu Jung nya yang perkasa boleh ditenggelamkan di dasar Samudera, Beribu laskarnya telah anumerta bersamanya dengan keyakinan dan kebanggaan sebagai lelaki Jawa yang “Celak coloking Hyang Widi, momor pamoring sawujud.
(Dekat cahaya Illahi, dan menyatu pada yang kasat mata).
Artinya: Tujuan hidup orang Jawa yaitu mendekatkan diri kepada cahaya Illahi serta menyatu dengan kehidupan orang banyak.
Sultan Trenggana naik Takhta jadi sultan Demak ke III di 1521, Jadi penguasa dengan beban berat dihadapan mata, diwarisi persoalan yang menggunung.
Ulama, sekutunya, para Adipati bawahannya dan Kawula menghadapkan pandangan menanti keputusan kemana arah Jung raksasa yang bernama Demak akan mengarahkan layar, setelah kebijaksanaan yang diambil para pendahulunya Pate Rodim, Pate Unus yang membutuhkan “anggaran” yang tidak sedikit. Untuk menangkal hegemoni Portugis sang raja Samudera yang makin hari makin terlihat kebuasannya.
Setelah Malaka, dipastikan Pelabuhan Sunda Kelapa akan jadi sasaran aneksasi Portugis hanya soal menunggu waktu. Sementara tugas “Gospel” penaklukan Pakuan Pajajaran oleh Cirebon untuk meng Islamkan Tatar Pasundan adalah “titah suci“ yang harus segera dieksekusi pelaksanaanya.
Dalam Banten; Sejarah dan peradaban abad X-XVII. Claude Guillot.
Tahun 1526, Banten Girang dan Pelabuhan Banten sebuah Kadipaten bawahan Pakuan Pajajaran jatuh ke Tangan Kesultanan Cirebon, Tubagus Pase adalah sang “senapati Sajawala“ laksamana Laut.
Penyerbuan dipimpin oleh Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati Sultan Cirebon dan yang kelak menjadi Maulana Hasanuddin Sultan Banten ke I.
Pada 1527, giliran Sunda Kelapa berhasil direbut dari Pakuan Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis. Sunda Kelapa berubah namanya menjadi Jayakarta, dan Oleh Kesultanan Demak dan direstui oleh Trenggana.
Jayakarta menjadi Kadipaten bawahan Demak dengan menunjuk Tubagus Pasai / Fathullah Khan / Falatehan menjadi Adipati Jayakarta ke I.
Setelah Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah yang bergelar Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Auliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah yang merupakan pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan asal usul dari pendiri Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat wafat.
Terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi Kesultanan Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Fatahillah Fachrullah Khan / Faletehan / Pangeran Atas Angin / Fadhillah Khan / Pangeran Raja Laut. Kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi Sultan ke III kesultanan Cirebon tahun 1568 – 1570.
Dan beliau Wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati sang Guru, mertua dan teman seperjuangan di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung Cirebon pada tahun 1570. Sama seperti Pate Rodim dan Pate Unus yang dimakamkan berdampingan di halam Masjid Demak.
(*)