Ilustrasi gambar (zhovena - denny) |
Oleh ; Denny JA
60MENIT.co.id, Bandung | Seorang negarawan atau pemimpin senior dalam perjalanan politiknya selalu mungkin saja melewati aneka pilihan politik yang berbeda bahkan konflik yang terbuka dengan pihak lainnya.
Tapi pastilah ujungnya selalu saja negarawan itu atau pemimpin senior itu akan mencari titik temu, mengakhirinya dengan kepentingan yang lebih besar, untuk kemajuan bangsanya dan negaranya.
Itulah kesan kita ketika membaca aneka berita akhir- akhir ini. Media menyatakan kemungkinan Megawati akan berhadapan dengan Jokowi karena mereka memiliki pilihan capres yang berbeda di tahun 2024 ini.
Berita itu juga mengatakan posisi bersebrangan itu lebih nampak lagi jika, misalnya, Gibran Rakabuming maju menjadi cawapres dari Prabowo.
Bagaimana kita menjelaskan dinamika hubungan antara Jokowi dan Megawati? Kita mulai dulu dari ujung. Di masa akhir kekuasaannya, Jokowi masih mendapatkan approval rating, tingkat kepuasan publik yang cukup tinggi.
Prosentase kepuasaan itu sekitar 76,2%- 82 %. Ini hasil survei LSI Denny JA, periode Maret- September 2023. Angka yang sama dikeluarkan oleh lembaga survei lainnya.
Di ujung kekuasaannya, Jokowi juga semakin menemukan visionnya, program utama, yang ia anggap penting bagi negara.
Pertama adalah pindahnya ibukota negara ke Kalimantan. Ini satu program yang besar sekali, yang dimulai di era Bung Karno.
Tapi Jokowi lah yang memulai pertama kali meletakkan infrastruktur, fondasi dari ibukota ini.
Juga program utama lainnya dari Jokowi mengenai hilirisasi industri. Menurut Jokowi Indonesia jangan lagi hanya mengekspor bahan-bahan mentah, mineral mentah, ke negara lain.
Sebaiknya kita hanya mengekspor produk olahan saja. Mengapa? Itu agar kita mengembangkan industri dalam negeri untuk mengolah bahan mentah itu.
Memproduksi barang olahan bagus untuk menyerap tenaga kerja, bagus pula untuk pertumbuhan ekonomi.
Seorang pemimpin yang akan datang harus juga memiliki keberanian menjalankannya karena pasti ditentang oleh kekuatan internasional yang lebih ingin membeli produksi mentah Indonesia.
Dua program besar ini adalah Vision Jokowi. Tapi sebuah Vision itu seperti pohon kelapa. Program itu tak bisa tuntas tumbuh hanya dalam waktu 10 tahun, dua periode pemerintahannya.
Seperti pohon kelapa, sebuah vision strategis kadang membutuhkan waktu tumbuh sampai 25 tahun. Artinya program itu hanya tuntas jika dilanjutkan oleh presiden berikutnya.
Itu hal yang wajar saja jika kemudian Jokowi dihadapi pilihan untuk ikut mendukung salah satu capres berikutnya. Jokowi akhirnya perlu memberi perhatian lebih, kepada salah satu dari tiga capres tahun 2024. Apakah itu ke Ganjar, Prabowo atau Anies.
Saat itulah Jokowi memiliki pilihan subjektif. Jokowi dapat mengamati siapa dari capres itu yang mau dan mampu melanjutkan legacynya itu.
Bisa saja ujung dari pengamatannya, Jokowi akhirnya tidak memilih capres separtainya seperti Ganjar. Jokowi mungkin saja berlabuh kepada Prabowo.
Saat itu, Jokowi berhadapan dengan Megawati, yang merupakan pimpinan utama dari PDIP. Sebagai ketum parpol, dengan segala daya Megawati ingin mengontrol penuh capres pilihannya sendiri. Ini juga hal yang lumrah saja.
Jokowi pun berhadapan dengan Megawati. Selama dua kali pilpres sebelumnya mereka bahu membahu (2014, 2019). Kini di pilpres 2024, semakin ke sini, semakin nampak mereka berpisah jalan.
Tapi ini dinamika yang biasa saja, rutin terjadi di negara demokrasi. Apalagi inti perbedaan Megawati dan Jokowi bukan konflik ideologis. Ini hanyalah perbedaan pilihan politik.
Kita percaya Jokowi ataupun Megawati adalah negarawan dan pemimpin senior. Pada waktunya selesai Pilpres 2024, mereka berdua akan kembali menemukan titik tengahnya. Jokowi dan Megawati akan disatukan kembali oleh kepentingan negara yang lebih besar.
(zho)