Kepala Pusat Penerangan Hukum, Kejagung RI, Ketut Sumedana, Sabtu (14/1). |
60MENIT.co.id, Jakarta | Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya banding atas kasus tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan pelaku tersangka, Benny Tjokrosaputro.
Upaya banding ditempuh lantaran Komisaris PT Hanson Internasional itu diduga merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun yang divonis pidana nihil alias tidak bersalah.
Dalam putusannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN Jakarta Pusat, menyatakan Benny bersama dengan Adam Damiri, Sony Widjaya dan kawan-kawan divonis bersalah dalam dakwaan kesatu Primair dan terbukti merugikan Negara sebesar Rp22,7 Triliun.
“Namun Benny Tjokrosaputro dijatuhi pidana nihil menjadi polemik dan kontroversi, sehingga Jaksa Penuntut Umum langsung menyatakan upaya hukum banding,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum, Kejagung RI, Ketut Sumedana, Sabtu (14/1).
Sumedana lebih lanjut menyampaikan sedikitnya 3 (tiga) poin alasan dilakukannya upaya hukum banding, yakni putusan tersebut sangat mengusik dan mencederai rasa keadilan karena Benny telah melakukan pengulangan tindak pidana (dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya).
“Sehingga seharusnya setelah diputus dengan hukuman seumur hidup dimana ada penambahan hukuman dengan hukuman mati, sesuai dengan Doktrin Hukum Pidana,” jelasnya.
Dikatakan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat keliru dalam menerapkan hukum karena Benny terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa yakni Primair Pasal 2 dengan ancaman minimal 4 tahun penjara.
“Sehingga penerapan hukuman nihil bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi,” urainya.
Ia menegaskan, proses hukum atas nama Benny dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya memang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Namun yang bersangkutan masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya untuk mendapatkan seperti grasi, remisi, amnesti, sehingga apabila dikabulkan, maka akan membahayakan bagi penegakan hukum, dan seharusnya ada persyaratan khusus dalam putusan a quo,” paparnya.
Lebih jauh dalam kesempatan di berbagai media, beberapa elemen akademi dan praktisi sependapat bahwa putusan tersebut harus diuji di tingkat pengadilan diatasnya yakni banding.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung menyampaikan putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum yakni, putusan yang merugikan lebih dari Rp40 Triliun apabila diakumulasi dengan 2 perkara yang dilakukan Benny secara absolut mengingkari nurani keadilan itu sendiri.
“Ini tidak saja merugikan kerugian Negara, tetapi merugikan masyarakat luas terutama pensiunan TNI dan Kepolisian Negara RI yang selama ini menjaga keamanan Negara. Ada kesalahan yang sangat fatal dalam penerapan pasal 67 KUHP, disamping bertentangan dengan asas hukum yaitu lex specialis derogat lex specialis yang berlaku dalam undang-undang tindak pidana korupsi pada perkara a quo, juga tidak secara tegas pasal tersebut diterapkan bagi tindak pidana yang dilakukan secara akumulasi dalam perkara terpisah,” bebernya.
Selanjutnya, putusan tersebut akan menambah ketidakpastian hukum oleh karena hak Terpidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dalam mengajukan upaya hukum luar biasa (PK) dan hak dalam mengajukan hak-haknya seperti remisi, grasi dan amnesti, justru akan melemahkan putusan yang pertama dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya, dan seharusnya putusan tersebut dibarengi dengan putusan bersyarat sebagaimana lazimnya dalam penegakan hukum.
Penerapan Pasal 67 KUHP jika sebagaimana dalam putusan a quo, akan menyulitkan bagi Jaksa dalam mengeksekusi harta benda Terdakwa dalam perkara PT ASABRI (persero). Padahal BENNY TJOKROSAPUTRO juga dijatuhi tindak pidana pencucian uang (TPPU) sementara harta yang telah disita dengan akumulasi kerugian Rp40 Triliun masih jauh dari kata penyelamatan. Hal inilah menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung sangat tidak adil.
(*)