60menit.co.id | Logo Bawaslu |
60MENIT.co.id, Yalimo | Sidang lanjutan Pilkada Kabupaten Yalimo digelar kembali, Kamis pagi, 17 Februari 2022. Sidang kali ini, mendengar jawaban Termohon, KPU Kabupaten Yalimo, dan Pihak Terkait serta Laporan Pengawasan dari Bawaslu Kabupaten Yalimo.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Panel, Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si, D.F.M serta Hakim Anggota Dr. Suhartoyo, SH., MH dan Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, SH, MH.
Dalam laporannya, Bawaslu Yalimo diwakili Demianus Bayage, S.IP, mengemukakan, dalam menanggapi Permohonan Lakius Peyon dan Nahum Mabel yang disampaikan Bawaslu Yalimo, bahwa benar Lakius Peyon dan Nahum Mabel mendapat dukungan dari Partai Bulan Bintang (PBB) dengan Surat Keputusan SK.PP/163/PILKADA/2021 dan mendaftarkan diri pada tanggal 5 Desember 2021, namun kemudian dibatalkan oleh Partai PBB pada tanggal 6 Desember 2021 dengan Keputusan Nomor SK.PP/164/PILKADA/2021, dan di hari yang sama juga mengusung pasangan Nahor New Wek dan Jhon W Wilil dengan Keputusan Nomor SK.PP/165/PILKADA/2021.
Selanjutnya, Pasangan Lakius Peyon dan Nahum Mabel telah melaporkan KPU Kabupaten Yalimo atas Pelanggaran dalam Pemilihan Suara Ulang (PSU) yang sedianya dilakukan pada tanggal 17 Desember 2021 menjadi tanggal 26 Januari 2022 dianggap telah melanggar Amar Putusan angka 5 tentang 120 hari kerja pelaksanaan PSU Kabupaten Yalimo. Bahwa Bawaslu Yalimo menyatakan telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Status Laporan atas Laporan Pasangan Lakius Peyon dan Nahum Mabel tersebut dengan Nomor Register 04/Reg/LP/PB/Kab/33.21/XII/2021, dan telah pula melakukan Klarifikasi kepada Ketua dan Anggota KPU Yalimo serta Saksi Pelapor.
Bahwa terhadap perbuatan KPU Kabupaten Yalimo yang mana PSU dilakukan tidak sesuai Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) angka 5 yang menyebut bahwa KPU Kabupaten Yalimo wajib melaksanakan PSU dalam waktu 120 Hari Kerja dan dapat dikatakan KPU Yalimo TELAH TERBUKTI melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat (2) huruf (d) dan ayat (3) huruf a, d dan g Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum dan juga telah terbukti melakukan pelanggaran Pidana Pemilihan Pasal 193A ayat (2), yaitu sesuai ketentuan Pasal 14, dapat dikenakan Pidana paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 bulan, dan selanjutnya Bawaslu Kabupaten Yalimo telah meneruskan Laporan Perkara tersebut ke DKPP dan Sentra Gakumdu.
Dalam menanggapi pertanyaan Ketua Majelis Panel Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si tentang Laporan Calon Bupati Lakius Peyon Nomor 51/LP/PB/RI/00.00/XII/2021 tanggal 16 Desember 2021, Bawaslu Yalimo menyampaikan bahwa telah menindaklanjuti Surat Bawaslu Provinsi Papua Nomor 2908/PP.01.00/K1/12/2021 dengan bukti PK4 namun selanjutnya ditanya hasil dari tindak lanjut ternyata Bawaslu Yalimo belum melakukan tindak lanjut.
Dalam tanggapan Termohon, KPU Yalimo, yang disampaikan oleh Kuasa Hukum Dr. Heru Widodo, SH., M.Hum, antara lain menyampaikan bahwa keterlambatan pelaksanaan Pemilihan Suara Ulang disebabkan keterlambatan penandatanganan NPHD oleh Pemerintah Kabupaten Yalimo, juga disampaikan bahwa Termohon mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PL.02/01/2021 pada tanggal 27 Oktober 2021 namun ditanggapi oleh Penasehat Hukum Lakius Peyon dan Nahum Mabel, Jonathan WS, SH, dengan menyampaikan bahwa Fakta Hukum dalam Jawaban Termohon terhadap Perkara 153/PHP.BUP-XIX/2022 pada halaman 10 disebutkan bahwa jelas Surat Nomor 102/PL.02/01/2021 tanggal 27 Oktober 2021 adalah bentuk laporan sebagaimana Bukti T-60 dan Bukti T-76 Laporan Tindak Lanjut Penandatangan NPHD tanggal 12 Oktober 2021.
Oleh karena itu, KPU Yalimo maupun KPU Pusat dan KPU Provinsi, seharusnya mengakui kekeliruan yang dilakukan dengan tidak mengajukan Penetapan Perpanjangan Pelaksanaan Pemilihan Ulang Pilkada Yalimo dikarenakan diduga KPU sendiri sudah bertindak menjadi Tim Sukses Paslon lain, malah seakan-akan menyalahkan Mahkamah Konstitusi karena tidak menggelar sidang penetapan.
Oleh karena itu, lanjut Jonathan, apa yang terjadi di Pilkada Kabupaten Yalimo menjadi pengalaman berharga di kemudian hari buat Jajaran KPU dan Bawaslu dalam hal melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi di masa-masa yang akan datang.
Dr. Marhaeni Ria Siombo, SH., M.Si, salah satu Dosen dan Pengajar di Universitas terkemuka di Jakarta, mengatakan, bahwa pasal 24 (c) ayat 1 Undang-undang 1945 menjabarkan Kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik; dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan kewenangan lain yang diberikan Undang-Undang.
"Kewenangan lain yang dimaksud ini adalah Ketentuan dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang berbunyi, perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus, oleh karena itu asas putusan MK berkekuatan hukum tetap dan bersifat final sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kata Final dan Mengikat ini dengan tidak adanya upaya hukum lain terhadap putusan MK tersebut dikarenakan guna untuk memutus ketidakpastian hukum yang berlarut-larut. Jika terus ada upaya hukum, maka akan terbentur menjalankan norma padahal norma itu harus dijalani dan itulah karakteristik putusan MK,” kata Dr. Marhaeni Ria Siombo.
Bahwa Kewibawaan suatu Putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya, maka itulah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Asas erga omes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang. Sehingga Marhaeni mengatakan bahwa apa yang dilakukan KPU Yalimo dengan memperpanjang Pemilihan Ulang melewati batas waktu Amar Putusan Mahkamah Konstitusi tanpa melewati Sidang Penetapan untuk menguji permasalahan yang ada adalah keliru.
(*/anto)