60menit.co.id | Ilustrasi Ngaji Tempo Dulu. |
Cara memahami hadits tentang bid'ah maka harus disimpulkan dengan hadist yang lain agar kita tahu arti yang sebenarnya / yang dimaksudkan.
Khas Redaksi ; by zho
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai :
Dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW dalam khothbahnya bertahmid dan memuji Allah SWT. Lalu Rasulullah SAW berkata, ‘Siapa yg diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya.
Siapa yang Allah sesatkan jalan hidupnya, maka tiada yang bisa menunjukki orang tersebut ke jalan yang benar.
Sungguh, kalimat yang paling benar adalah kitab suci. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW. Seburuk-buruknya perkara itu adalah perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adl bid‘ah.
Setiap bid‘ah itu sesat. Setiap kesesatan membimbing orang ke neraka,’” (Lihat Ahmad bin Syu‘aib bin Ali Al-Khurasani, Sunan An-Nasai, Maktab Al-Mathbu‘at Al-Islamiyah, Aleppo, Cetakan Kedua, tahun 1986 M/ 1406 H).
Untuk memahami hadits riwayat An-Nasai, kita perlu menyandingkannya dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan di Shahih Bukhari sbb :
Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’.
Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan terbagi dua :
Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat.
Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela,’” (Lihat Al-Baihaqi lm Al-Madkhal, Halaman 206). Imam Syafi’i dalam keterangan di atas jelas membuat polarisasi antara bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat.
Pandangan Imam Syafi’i kemudian dipertegas oleh ulama Madzhab Hanbali, Ibnu Rajab Al-Hanbali sbb:
Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid‘ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya. Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid‘ah menurut syara’/agama meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali pada Syarah Shahih Bukhari).
Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H kemudian membuat rincian lebih detail perihal bid‘ah beserta contohnya seperti keterangan sbb:
Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode untuk mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah.
Demikian
Semoga bermanfaat, aamiin