60MENIT.co.id, Makassar | Seperti diberitakan sebelumnya, pertemuan yang difasilitasi Pemda Toraja Utara untuk mempertemukan para Pemilik Lahan dengan pihak Manajemen PT Nagata Dinamika Hidro Ma'dong (NDHM) yang berlangsung di Kantor NDHM, Paku, Kecamatan Denpina, Selasa (7/9), benar-benar bias atau menyimpang dari rencana semula serta tujuan yang ingin dicapai.
Pertemuan yang diinisiasi Camat Dende Piongan Napo, Samuel Tandirerung, ini dihadiri Sekda Torut, Rede Roni Bare, serta jajarannya. Diantaranya, terdapat Plt Kadis Lingkungan Hidup (LH), Marten Sandabunga, S.Pd dan Sekretaris DLH Herman Taruk Padang, serta lainnya. Juga hadir Kasdim 1414 Mayor Inf. Selfinus Tangkelangi. Wabup Frederik Victor Palimbong (Dedi) yang sebelumnya rencana hadir, mangkir tanpa alasan jelas.
Pasalnya, Wabup Torut tersebut masuk dalam daftar nama yang diundang. Malah dua nama legislator, yakni John Rende Mangontan (JRM) dari DPRD Sulsel dan Erni Denma Pali dari DPRD Torut, turut hadir. Padahal keduanya tidak diundang. Sedang Hatsen Bangri, mantan Legislator Torut, hadir mewakili pihak keluarga Tongkonan. Anehnya, para pemilik lahan yang sejauh ini menuntut ganti rugi lahan mereka, tidak diundang. Mereka diwakili Jhonru dan Nurjaya Lassu, SH.
Ketua YAPITO (Yayasan Peduli Tondok Toraya) Drs. Rony Rumengan juga tidak diundang. Sedang dari pihak NDHM hanya hadir Sudarto, penanggungjawab proyek PLTM Ma'dong, serta Humasnya, Marthen Buntu. Meskipun tak diundang, Rony, Johnru dan Nurjaya serta para pemilik lahan tetap hadir. Rony bahkan menerobos masuk ke dalam ruang pertemuan. Dia memantau langsung suasana pembicaraan. Di luar gedung pertemuan, tampak sejumlah tenaga pengamanan baik dari Kepolisian maupun TNI.
Dari kejauhan, melalui sambungan langsung telepon, Rony menceritakan perkembangan serta suasana pertemuan hingga hasilnya. Dari pertemuan, terungkap melalui Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup, Herman Taruk Padang, kalau pembangunan terowongan tidak ada dalam rencana awal. Juga, dengan mengutip hasil investigasi Tim Verifikasi KemenLH-Hut yang pernah turun ke Torut, katanya, membenarkan telah terjadi pencemaran lingkungan sesuai dugaan sebelumnya, seperti diberitakan yang lalu.
SUASANA PERTEMUAN: Tampak dua orang legislator, John Rende Mangontan (DPRD Sulsel) dan Erni Denma Pali (DPRD Torut) hadir dalam pertemuan. (dok.ist). |
Menurut Rony, pertemuan tersebut bukan menyelesaikan masalah. "Tapi seakan-akan pertemuan itu suatu pengadilan yang menghakimi dua kepala lembang yakni kepala lembang Ma'dong dan Paku. Dan saya tidak sependapat dengan ini. Tidak bisa itu Kalem diadili di depan banyak orang oleh DPRD. Nanti kalau di kantor mereka silahkan. Jadi pertemuan tadi sebuah pengadilan terhadap Kalem yang dianggap tidak memperhatikan kampung," ujar jurnalis senior ini.
Rony secara gamblang mengkritisi perlakuan dewan tersebut. "Dewan tadi meminta Kalem agar kalau ada apa-apa melapor ke mereka. Ini juga sebuah ironi. Dewan kan bukan atasannya. Panggil itu bupati atau wakil bupati bilang Kalem ini tidak benar," terangnya. JRM dalam pertemuan, dilaporkan mendominasi pembicaraan dengan mengadili kedua kepala lembang tersebut. Dia benar-benar tampil di panggung sebagai legislator.
"Karena Gusti (Kalem Ma'dong maksudnya) tidak dikasih kesempatan lagi bicara, saya bilang sama JRM jangan kau veto-veto orang, biarkan dia bicara. Mestinya kan aspirasinya rakyat Kalem sampaikan. Jangan Kalem diadili begitu. Terserah, bagi saya, adakah kesalahannya dia atau tidak itu urusan lain, urusan dia. Ini kok dia monopoli pembicaraan. Memangnya kamu siapa," ketus Rony di balik handphonenya, sesaat setelah pertemuan.
Rony juga sangat menyesalkan cara Sekda Rede Roni. Katanya, Sekda tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. "Sekda tadi tidak memberi kesempatan kepada Rony Rumengan bicara. Padahal yang pergi melapor ke dia adalah Rony Rumengan, Yayasan Peduli Tondok Toraya. Jadi itu saya sesalkan ke Sekda. Karena saya mau bicara tadi dia tidak kasih, saya paksa baru saya dapat bicara," ungkapnya. Penasehat Toraja Transparansi ini juga mengkritisi model pembayaran ganti rugi lahan lewat tongkonan.
Suasana di luar gedung pertemuan (dok.ist). |
"Dalam pembicaraan tadi juga ada penekanan dari Hatsen dan JRM bahwa pembayaran dilakukan lewat tongkonan. Mereka bilang disetop dulu. Kalau ada pembayaran dari perusahaan tidak boleh. Ini juga saya tidak sependapat. Karena dalam falsafah tongkonan itu siapa-siapa yang sudah mengelola tanah itu atau dalam penguasaannya itulah bagian dia, tidak bisa diganggu gugat. Nanti kalau perusahaan membayar ke tongkonan dasarnya apa," bebernya.
Tongkonan, menurut Rony, bukan objek atau pelakunya. "Ada manusia di dalamnya, makanya harus cari orangnya. Contoh, kenapa Bai Kasi harus dibayar melalui tongkonan yang ada di Paku sementara dia punya surat keterangan kepemilikan tanah dari Tana Toraja bukan Toraja Utara, dan itu ada di seberang sana. Kenapa mau dibayar lewat tongkonan di sini, ada apa? Saya tidak mengerti kenapa JRM dan Hatsen minta perusahaan setop dulu pembayaran. Bai Kasi bayar pajak sendiri, menanam sendiri, lalu kenapa harus melapor ke tongkonan," jelasnya.
Karena itu, Rony mengingatkan pihak perusahaan untuk tidak terkecoh. "Karena kalau bicara tongkonan, kalau pemilik tongkonan ada 5000 orang lalu satu orang tidak setuju bagaimana, sementara uang perusahaan sudah keluar, siapa yang mau bertanggungjawab dengan uang itu," paparnya. Rony menyarankan lebih baik kedua Kalem memverifikasi tanah garapan warganya. Sudah itu mereka buatkan surat keterangan kepemilikan tanah sebagai dasar pembayaran oleh perusahaan. "Dengan catatan bahwa memang dia yang mengelola lahan itu," timpalnya. Pertemuan berikut rencananya digelar di atas 20 September 2021 untuk memberi kesempatan pihak perusahaan membahas permintaan masyarakat.
(anto)